Wawancara Khusus Moeldoko Kita Punya Komitmen Serius Atasi Perubahan Iklim
Suara.com - Perubahan iklim sudah cukup lama menjadi isu global karena berdampak luas tidak hanya pada perubahan kondisi alam, melainkan juga pada berbagai aspek kehidupan manusia.
Perubahan iklim diketahui turut mengakibatkan terjadinya peningkatan potensi-potensi bencana alam seperti banjir, kekeringan, hingga badai siklon tropis dan berbagai bencana lainnya. Gas rumah kaca dan emisi karbon diketahui sebagai salah satu elemen utama penyebab perubahan iklim di dunia, yang sebagian besar di antaranya merupakan dampak aktivitas manusia dan peradaban.
Terkait hal itu, Indonesia sendiri sejak awal diketahui sudah terlibat aktif dalam apa yang dinamakan UNFCCC (United Nations Framework Convention on Climate Change), semacam forum dunia di bawah koordinasi PBB dalam menentukan kerangka dan kesepakatan-kesepakatan kebijakan demi mengatasi masalah perubahan iklim.
[embedded content]
Baca Juga: Kepala MAN Insan Cendekia Serpong Abdul Basit: "Outcome" Pendidikan Harus Jelas, Terukur
Lalu apa langkah-langkah yang sejauh ini sudah dan hendak dilakukan pemerintah dalam keterlibatan mengatasi masalah perubahan iklim tersebut? Termasuk, bagaimana pula upaya-upaya di sektor industri dan transportasi misalnya, sebagai salah satu bidang yang perlu terlibat aktif mengembangkan solusi demi mengatasi masalah perubahan iklim ini?
Beberapa hari lalu, Suara.com berkesempatan melakukan wawancara khusus dengan Kepala Staf Kepresidenan RI, Jenderal TNI (Purn) Dr. H. Moeldoko di kantornya, Kantor Staf Presiden, Gedung Bina Graha, Komplek Istana Kepresidenan. Berikut petikan perbincangan dengan Moeldoko sore itu, yang disajikan dalam format tanya-jawab yang sudah disusun ulang:
Pak Moeldoko, kalau boleh tahu, langkah-langkah atau progres Indonesia dalam upaya penanggulangan perubahan iklim, terutama melalui program UNFCCC, sejauh ini sudah bagaimanakah?
Sebenarnya kalau dilihat dari komitmen pemerintah Indonesia dalam isu global, perubahan iklim (climate change) ini sungguh luar biasa ya, komitmennya tinggi. Karena bagi bangsa Indonesia, (kita) sangat menyadari bahwa Indonesia menjadi paru-paru dunia. Kita negara kepulauan yang besar, memiliki hutan yang cukup luas, sehingga menjadi stok karbon dunia juga. Ini sebuah kekuatan yang kita miliki.
Untuk itulah, sustainable ini harus terjaga dengan baik. Agar terjaga dengan baik, maka harus ada sebuah instrumen yang mengaturnya. Kalau kita melihat instrumen itu, ada dalam konstitusi ya, di dalam UUD 1945. Sangat jelas itu ya, pada pasal 28 H, di mana mengenai hak warga negara untuk memperoleh lingkungan hidup yang baik, dan pasal 33 lebih tegas lagi, bahwa kekayaan alam nasional yang harus dikelola secara lestari dan suistanable. Ini sebuah direction yang sangat clear dalam konstitusi kita ya.
Baca Juga: Bupati Solok Epyardi Asda: Dulu Banyak yang Menolak Vaksin, Sekarang Sudah Antre
Berikutnya, di ratifikasi Paris Agreement di dalam COP21, ke dalam UU 16 2016 ini juga. RPJMN 2020-2024 memasukkan pembangunan rendah emisi atau rendah karbon, di situ juga ditegaskan lagi. Dari kondisi itu, komitmen kita sangat kuat dari sisi instrumennya.
Berikutnya dari sisi implementasinya, kita juga bisa lihat bagaimana BRG (Badan Restorasi Gambut) kita itu bekerja keras untuk melakukan percepatan di restorasi gambut. Berikutnya lagi, kita juga menyiapkan merehabilitasi mangrove sampai dengan 600 ribu hektar menuju pada 2024. Ini langkah-langkah nyata ya, dari sisi instrumennya, dari sisi konstitusi atau dari sisi UU yang diatur.
Berikutnya, ratifikasi COP21 juga dituangkan dalam sebuah UU. Ini menurut saya, komitmen Indonesia dalam ikut terlibat secara aktif atas isu global yaitu climate change, sangat tinggi. Itu poinnya.
Kapan tepatnya netral karbon secara keseluruhan ditargetkan tercapai di Indonesia? Apakah sejauh ini ada kendala, dan jika ada apa saja terutama kendalanya?
Ya, kita memang Indonesia menggunakan strategi jangka panjang untuk pembangunan rendah karbon ya, karena memang ini sebuah persoalan yang perlu adanya kesadaran bersama. Karena tidak bisa seperti membalikkan sebuah tangan begitu. Maka upaya-upaya itu harus dirintis. Intinya, ada target-target yang kita harus lakukan.
Presiden Joko Widodo berkomitmen untuk menuju kepada karbon netral, itu projectionnya adalah menuju kepada (tahun) 2060. Dan komitmen itu bisa dilihat dari keseriusan.. Pasti bisa lebih, kurang dari 2060 bisa terealisasi.
Kita lihat, Bapak Presiden (bahkan) turun sendiri dalam rangka menuju kepada 600.000 hektar mangrove. Beliau sendiri turun untuk memberikan contoh kepada kita semuanya, nanam mangrove di mana-mana. Termasuk kemarin waktu di Kaltara juga mengajak beberapa duta besar untuk ikut terlibat, bagaimana menanam mangrove yang ada di sana. Ini sebuah bukti konkret bahwa pemerintah memiliki komitmen yang sangat kuat.
Untuk menuju ke sana (target net zero karbon 2060) tadi perlu kerja sama. Sekali lagi, tidak bisa hanya pemerintah, tidak bisa. Tapi (perlu) ada sebuah kesadaran bersama menuju kepada kondisi yang semakin awarneess atas perubahan iklim atau climate change itu. Ini perlu sosialisasi.
Bagi masyarakat Indonesia, mungkin sebagian besar belum begitu banyak (yang paham), apa sih climate change? Kenapa itu masuk dalam isu global? Ini perlu ada upaya bersama, sosialisasi yang terus-menerus, sehingga ini menjadi kerja-kerja bersama bagi masyarakat Indonesia. Karena target itu mesti di-publish kepada masyarakat, (bahwa) inilah Komitmen Indonesia dalam menyikapi isu itu. Berikutnya aturan-aturannya seperti ini, komitmen globalnya seperti ini, dan kita mempunyai sasaran jangka panjang seperti ini menuju zero tadi. Ini mesti di-publish terus. Maka saya juga terima kasih kepada Suara.com ini yang bisa ikut terlibat dalam mensosialisasikan persoalan ini kepada masyarakat.
Terkait kesadaran masyarakat bahwa perubahan iklim ini ancaman besar sehingga perlu ada perubahan perilaku. Nah, ini sebetulnya melihat banyaknya musibah, ada banjir dan lain-lain, apakah mungkin memang harus dengan seperti itu, bahwa ini bencana alam adalah akibat perubahan iklim, sehingga kemudian mereka kemudian sadar dan mau berubah perilakunya?
Karena perubahan ini membawa dampak yang kompleks ya. Satu, dari ketersediaan pangan. Perubahan iklim itu juga akan memiliki konsekuensi kalau kita lihat, umpamanya, kemarin saya ke masyarakat garam yang ada di Indramayu, Cirebon. Bahwa terjadinya rob ini juga salah satu (dampak) perubahan iklim. Yang tadinya rob itu pengaruhnya terhadap abrasi itu begitu kecil, tapi sekarang sudah mulai signifikan.
Berikutnya lagi, juga kepada para petani yang lain. Kalau kita tidak aware atas situasi itu, maka berikutnya setelah climate change dari isu global, berikutnya adalah isunya food, makanan. Ini sesuatu yang beruntun ini. Tapi kalau kita mulai dari awal sudah aware tentang situasi itu, maka akibat-akibat dari perubahan iklim itu bisa kita eliminasi, karena adanya perubahan perilaku tadi. Itu kira-kira arahnya.
Kesepakatan Indonesia, (capai target) 2030 sampai 2060. Alasan kita, Indonesia, kenapa meminta waktu yang sangat panjang, kira-kira kenapa ya?
Ya, begini ya, Indonesia kan negara yang besar, tidak seperti negara-negara Eropa yang relatif kontinental. Kita negara kepulauan yang cukup luas. Berikutnya, kedua, berkaitan dengan hajat hidup orang banyak. Kadang-kadang (kan) yang terjadi di daerah tidak seperti apa yang kita pikirkan.
Seperti begini, sering masyarakat Eropa menyoroti atas palm oil (minyak kelapa sawit) kita, karena (katanya) merusak lingkungan dan seterusnya. Saya katakan, itu kan cara Anda berpikir, berbeda dengan cara berpikir masyarakat. Kalau itu menjadi kehidupan mereka, kelapa sawit menjadi bagian dari kehidupan mereka yang dia bisa me-manage dengan baik, maka itu jauh lebih bagus. Daripada kita larang, akhirnya masyarakat sulit mencari kehidupan. Yang terjadi apa? Monyet-monyet nanti malah dimakan.
Kepala Staf Kepresidenan Jenderal TNI (Purn) Moeldoko dalam salah sebuah kegiatan di Kabupaten Bandung Barat, Selasa (10/8/2021). [Suara.com/Ferrye Bangkit Rizki]Saya ngomong terus terang kepada masyarakat Eropa seperti itu. Jadi kita berpikirnya, ada adjustment optic-nya, jangan menurut kacamata mereka (saja). Tapi masyarakat Indonesia kondisinya seperti itu ya. Dia harus bisa hidup seperti apa pada lingkungan yang saat ini dihadapi, nggak bisa masyarakat didikte dan seterusnya.
Jadi, cara pandangnya seperti itu. Menurut saya karena tadi, karena luasan wilayah, jumlah penduduk, tingkat pendidikan, berikutnya berbagai macam pertimbangan, mestinya yang mendasari menuju ke sana.
Jadi kalau didesak (pencapaian target net zero emission) 2060 itu berat juga ya?
Saya pikir semuanya berlaku dinamis. Itu kan kita berpikir yang lebih aman. Tapi pasti, dengan komitmen pemerintah Indonesia yang begitu kuat, maka kita juga yakin pencapaian itu bisa lebih cepat. Begitu.
Selain regulasi, apakah ada kebijakan terkait roadmap menuju nol karbon ini?
Tadi, di antaranya konstitusi dan regulasi yang ada tadi, sepanjang itu dipedomani dengan baik. Berikutnya kita juga aware atas ratifikasi COP21, itu sebuah upaya yang real dari pemerintah. Berikutnya, akan kita lihat kira-kira dari sisi apa akselerasi itu bisa dicapai? Kita melihat nanti dinamika ke depan seperti apa.
Kalau melihat dari sebuah komitmen yang kuat, maka tidak menutup kemungkinan aspek-aspek lain yang nyata-nyata bisa mengakselerasi menuju zero karbon itu, pasti ditempuh oleh pemerintah Indonesia. Nggak usah khawatir tentang itu, karena yang kita lihat adalah komitmen. Komitmen yang jelas dari sebuah bangsa yang paling penting.
Khusus di bidang lingkungan hidup dan kehutanan, kesiapan mencapai target netral karbon itu bagaimana?
Satu, kebijakan kita untuk mereduksi Karhutla itu tinggi banget. Satu saat kita bersama-sama Presiden melihat ke Riau, di situ kepolisian sudah membuat peta, sehingga kalau ada terjadi titik-titik itu muncul, maka kesiagaan itu menjadi tinggi. Itu lebih teknisnya. Tapi secara keseluruhan, bahwa kebijakan pemerintah untuk menekan agar kebakaran hutan itu bisa terkendali dengan baik. Bisa dilihat bagaimana concern Presiden sendiri untuk turun ke lapangan.
Berikutnya kesigapan aparat melalui badan penanggulanan bencana, dan unsur-unsur perkuatan lainnya seperti TNI dan Polri. Itu sangat signifikan bisa menekan.
Berikutnya yang ketiga, kesadaran masyarakat sendiri. Yang tadinya masyarakat memiliki tradisi untuk membakar sebelum dia bercocok tanam, tapi dengan berbagai situasi terjadi akhir-akhir ini, maka kesadaran itu menjadi turun, karena (juga) ada law enforcement. Yang tadinya bagi mereka membakar dalam bercocok tanam itu biasa, tapi karena kita atur lagi, ada sebuah regulasi yang lebih menekankan itu, maka tindakan law enforcement membuahkan hasil itu.
Berikutnya lagi ada sebuah corrective action pada kebijakan kehutanan, (terutama) penekanan laju deforestasi.
Berikutnya upaya perhutanan sosial, itu juga lebih memberikan kepastian. Seperti begini. Dulu kita mengenal ada LMD, lembaga masyarakat daerah hutan. Dulu mereka itu mengelola hutan, tidak memiliki kepastian, sehingga bisa-bisa masyarakat daerah hutan itu bisa merusak lingkungan yang ada. Tapi dengan adanya salah satu reforma agraria, yang wujudnya adalah perhutanan sosial, maka masyarakat yang berdiam di seputaran hutan itu, dia menjadi lebih memiliki kepastian, karena dia diberikan hak untuk mengelola, bukan untuk mengubah fungsi ya, selama 30 tahun. Dan itu ada suratnya resmi, tetapi itu tidak boleh dijualbelikan.
Dengan demikian, maka kontrol atas masyarakat yang berdiam di sekitaran hutan itu bisa dikendalikan dengan baik, dan bahkan Presiden memerintahkan untuk adanya sebuah pemberdayaan. Jadi masyarakat, setelah dia mendapatkan tanah dari konsep perhutanan sosial dan redistribusi tanah, maka perintah Presiden berikutnya adalah lakukan penguatan terhadap masyarakat yang tinggal di situ. Bentuk keterlibatan berbagai kementerian, Kementerian Desa, Kementerian Pertanian, berikutnya Kementerian UMKM, perbankan dari Kementerian BUMN semuanya ikut terlibat di dalamnya, sehingga masyarakat itu menjadi kuat. Kalau masyarakat ada perkuatan dari kita, maka masyarakat itu tidak lagi melakukan tindakan-tindakan illegal logging-lah, merambah hutan, dan seterusnya. Corrective action istilah kita, seperti itu bentuknya.
Jadi, benar-benar perlu keterlibatan semua pihak dalam upaya mencapai target netral karbon ini ya. Lalu bagaimana pula dengan kalangan dunia industri atau sektor industri, juga transportasi, misalnya?
Iya pasti (perlu dukungan semua pihak). Karena kalau kita lihat Jakarta ya, saat saya Panglima TNI dulu, saya naik pesawat tempur dulu begitu take off dari Halim, saya melihat lingkungan Jakarta dan sekitarnya dari atas itu gelap. Bener-bener itu. Begitu pesawat itu meluncur ke Sukabumi, ke Pantai Selatan, semua itu biru, terang. Ini sebuah perbedaan yang nyata ya, bahwa ada ancaman bagi masyarakat kota ini dari sisi karbon, ya itu.
Untuk itu, maka perlu aturan, mesti ada aturan yang clear, bagaimana upaya menuju kepada zero emisi tadi. Maka Presiden buru-buru mengeluarkan sebuah aturan yang jelas. Perpres 55 itu memberikan direction kepada semua pihak, bahwa kita harus segera menuju kepada penggunaan mobil listrik, Nah, itu kira-kira arahnya ke situ.
Tampaknya memang salah satu solusi yang sudah mulai berjalan adalah penggunaan kendaraan berbahan bakar ramah lingkungan, seperti mobil listrik itu ya. Ini sudah sejauh mana perkembangannya, baik secara regulasi, produksi, juga pemanfaatannya?
Dari sisi regulasi, itu tadi, bahwa Presiden menyadari atas upaya perbaikan lingkungan, maka Perpres 55 (tahun) 2019 tentang Percepatan Program KBLBB (Kendaraan Bermotor Listrik Berbasis Baterai) untuk transportasi jalan. (Jadi) Kalau dilihat, itu mulai tahun 2019 ya. Dari sinilah muncul kebijakan-kebijakan lanjutan.
Sebagai contoh, ini langkah-langkah konkrit yang dilaksanakan oleh kementerian. Menteri (Menko) Marinves itu memimpin untuk bagaimana Perpres 55 itu bisa diakselerasi dengan cepat. Itu berulang-ulang. Berikutnya dari Kementerian Perhubungan, menyikapi Perpres 55 ini juga luar biasa. Dan pada akhirnya sampai dengan saat ini, Kementerian Perhubungan sudah membuat sebuah roadmap transisi dari kendaraan konvensional ke kendaraan berbasis baterai listrik tadi.
Bentuknya seperti apa? Jadi, Kementerian Perhubungan sudah membuat roadmap untuk kendaraan transportasi umum, itu menurut tahapan waktu dan tahapan presentasi, pada tahun sekian sudah mulai terjadi pengurangan mobil konvensional sekian persen, dan pada tahun sekian sekian persen. Dan berikutnya juga demikian terhadap kendaraan-kendaraan passenger ya, kendaraan pribadi itu. Sekarang sudah dimulai dari Kementerian Perhubungan itu rental mobil listrik untuk para pegawainya eselon tertentu. Ini nanti secara bertahap, model seperti ini akan dilebarkan.
Berikutnya untuk kendaraan transportasi umum yang bersifat mengangkut personal. Itu nanti juga secara bertahap, bagaimana nanti di kementerian/lembaga, di TNI-Polri, itu menjadi prioritas. Berikutnya transportasi umum seperti Transjakarta dan yang lain-lain, itu juga menjadi tahapan-tahapan yang akan diselaraskan dengan roadmap tadi. Itulah keseriusan pemerintah dalam menyikapi itu.
Berikutnya yang kedua, Presiden sangat menyadari bahwa ke depan itu baterai adalah sebuah salah satu substitusi energi. Di mana kita memiliki sumber daya mineral yang cukup memadai, di antaranya kobalt dan nikel yang cukup memadai di Indonesia. Kita menjadi kalau tidak salah nomor dua dunia atas sumber daya yang kita miliki itu. Maka ke depan, kita tidak saja membangun smelter untuk feronikel, tetapi bagaimana sudah menuju kepada hilirisasi. Maka kalau kita makro, arahan Presiden, pembangunan sumber daya manusia, melanjutkan pembangunan infrastruktur, reformasi birokrasi, reformasi atau melakukan deregulasi penyederhanaan regulasi melalui Omnibus Law.
Yang terakhir ini adalah transformasi ekonomi. Yang dulu kita lebih senang menjual sumber daya alam, raw material kita keluar, tapi sekarang ini Presiden menekankan pada sebuah transformasi, yang tidak bisa lagi ditunda. Dulu kita pernah memiliki minyak. Minyak habis kita baru menyesal. Dulu kita memiliki hutan, memiliki kayu yang luar biasa. Kayu habis menyesal lagi. Kita sekarang memiliki batubara dan memiliki mineral yang lain, atau nikel tadi. Jangan sampai karena keteledoran kita lagi, kita menjadi menyesal untuk berikutnya. Untuk itu, Presiden sangat menekankan bagaimana kita menuju kepada hilirisasi itu, sehingga Pepres 55 nanti ini betul-betul bisa diakselerasi TKDN (Tingkat Kandungan Dalam Negeri)-nya.
Sekarang ini, TKDN kalau kita bicara MAB (Mobil Anak Bangsa), itu TKDN-nya baru 50%. Tetapi ke depan, kalau sudah kita memiliki baterai sendiri, maka TKDN kita menjadi hampir mendekati 90%, karena sebagian besar dari mobil listrik itu kekuatannya ada di baterai. Ini kesadaran menuju ke sana sangat tinggi, sehingga ini nanti bisa menjadi faktor leverage ya, untuk pertumbuhan ekonomi ke depan.
Di roadmap, tahapan yang harus segera dijalankan apa? Apakah industri baterainya sendiri harus ada, kemudian eksekusinya, dan tahun berapa harus sudah clear? Apakah ada tahapannya?
Ya, ada tahapan menuju kepada hilirisasi tadi, karena secepatnya bahwa kita harus segera bisa memproduksi baterai sendiri itu, dan ini beberapa investor dari luar sudah datang untuk membangun industri baterai listrik Indonesia.
Di agenda pemerintah, tahun berapa Pak, (itu) bisa mulai digencarkan?
Memang ini tergantung juga dari kesiapan industri itu sendiri ya. Kalau investor, untuk sementara yang sudah hadir di Indonesia ada Hyundai menuju kepada mobil listrik ke depan. Berikutnya juga Wuling, juga menuju mobil listrik ke depan. Kalau dalam negeri, yang sudah mulai hadir sudah mulai banyak juga. Sepeda motor roda ada Gesits, berikutnya ada beberapa yang lain. Berikutnya untuk mobil transportasi ada MAB, dan mungkin juga akan menyusul berikutnya.
Semuanya itu, sekali lagi, kalau mendapat dukungan dari pemerintah, maka akan bisa berjalan dengan cepat. Apakah itu sementara ini (dengan) diberikan insentif yang cukup memadai, sehingga pertumbuhan pembangunan mobil listrik di Indonesia menjadi cepat. Berikutnya ada insentif-insentif yang lain, sehingga harga menjadi tidak begitu mahal. Karena mobil listrik sekarang ini memang masih mahal. Tetapi ke depannya kan, harapan kita, kalau baterainya menjadi murah, maka mobil listrik itu otomatis akan murah.
Founder PT Mobil Anak Bangsa (MAB) Jenderal TNI (Purn) Dr. Moeldoko (kanan) menyerahkan bus listrik MAB tipe MD 12E NF secara langsung kepada Presiden Direktur PT Riau Andalan Pulp and Paper Sihol Parulian Aritonang, di Gedung Sahid Sudirman Center, Jakarta, Selasa (31/8/2021). [Suara.com/Angga Budhiyanto]Kita tahu Pak Moeldoko juga pendiri MAB yang sejauh ini fokus dan terus bergerak mengembangkan mobil listrik, khususnya untuk kendaraan bus itu. Bisa dibeberkan sedikit, bagaimana visi dan komitmennya terkait isu lingkungan ini, dan bagaimana perkembangan MAB sendiri sejauh ini?
Komitmen kita sebenarnya ikut membantu bagaimana membangun sebuah lingkungan, enviroment yang semakin baik ya. Itu misi besarnya, ikut terlibat membantu pemerintahan dalam mewujudkan zero emisi tadi. Itu misi besar kita. Berikutnya untuk bisa menuju ke sana, maka MAB berpikir mau ke mana ini yang harus didahulukan dalam mewujudkan mobil listrik ini. Maka kita memikirkan untuk membangun transportasi umum. Kenapa transportasi umum? Karena kalau dilihat perbandingan dari 1 bus itu, bisa 4 sampai dengan 40 orang. Bisa dibayangkan itu 40 orang itu menggunakan mobil, beberapa mobil yang banyak bertebaran dan mengeluarkan emisi itu. Itu yang pertama kenapa harus mobil transportasi.
Yang kedua, kita juga sedang menyiapkan untuk membangun truk listrik. Kenapa truk listrik? Karena kalau kita lihat, perbandingan mobil yang ada di Indonesia itu, antara transportasi umum, bus, truk itu juga populasinya sangat besar. Jadi kalau itu tergantikan dengan truk listrik, maka itu juga reduksi itu juga cukup tinggi ya, reduksi emisi itu.
Berikutnya ada varian-varian lain yang kita ingin kembangkan. Contohnya, kita lagi menyiapkan desain untuk Metropod. Metropod itu kendaraan feeder, yang bisa dibayangkan seperti ini, kalau kita lihat di BSD, Perumahan BSD, dari Stasiun BSD umpamanya masyarakat turun melalui feeder itu, dia masuk ke area perumahan yang jaraknya antara 5 sampai dengan 8 km, berputar di situ, sehingga di dalam perumahan itu menjadi bersih. Itu yang sedang saya pikirkan untuk itu. Sehingga Metropod itu (penumpangnya) hanya 9 orang, ikut bagaimana berkontribusi atas lingkungan yang semakin baik dari sisi emisi tadi. Kira-kira arahnya ke sana.
Ini (Metropod tersebut) masih rencana atau bagaimana?
Bukan berencana, kita sudah lagi develop truknya. Metropodnya sudah selesai desainnya, tinggal diimplementasikan. Berikutnya nanti, terakhir kita juga sedang menyiapkan untuk sepeda motor ya. Karena saya membayangkan, kalau konsumsi masyarakat Indonesia untuk motor itu kurang lebih 7 juta per tahun ya, itu kalau bisa secara alamiah tergantikan, maka itu juga akan memiliki hal yang penting menuju zero karbon.
Progres tempat produksi seperti baterai atau pengembangan stasiun pengisian dan lain-lain?
Ada sebuah kerja sama yang sangat baik ya, yang kolaboratif, karena semua berpikir bahwa pengembangan mobil listrik KBLBB ke depan itu adalah membangun sebuah ekosistem. Ekosistem itu apa saja? Satu, ada PLN. Karena PLN-lah yang akan menyiapkan sumber energinya. Berikutnya dari Pertamina juga memikirkan bagaimana Pertamina dan BPPT menyiapkan dan mengembangkan charging station-nya. Berikutnya dari Kementerian Perhubungan juga menyiapkan titik-titiknya, di mana kira-kira charging station dibangun.
Pemerintah daerah juga memikirkan kira-kira posisi-posisi, koordinat-koordinat yang kira-kira visible untuk masyarakat yang akan charging kalau dia menggunakan listrik. Sedang kemana, mereka lagi ke mal, di situ juga daerah memikirkan. Jadi sebagai sistem yang disikapi bersama, tidak bisa dari sisi pengusaha, karena pengusaha saja juga nggak akan jalan. Juga termasuk dari sisi financing-nya, maka dari Bank Indonesia dan OJK juga memikirkan bagaimana itu kreditnya. Karena sementara ini masih banyak pertanyaan orang-orang dari perbankan itu, berapa lama charging-nya, terus usia mobil seperti apa, berapa lama dan seterusnya, ini menjadi isu-isu yang perlu direspon.
Untuk itu, kita juga mendirikan Periklindo, Perkumpulan Industri Mobil Listrik Indonesia, agar ikut terlibat secara aktif dalam upaya- upaya sosialisasi kepada publik.
Apakah memang bus listrik atau kendaraan ramah lingkungan lainnya diyakini bisa digunakan secara massal di Indonesia kelak, dengan kata lain benar-benar mengistirahatkan kendaraan berbahan bakar fosil? Kalau iya, bayangannya kira-kira seperti apa itu bisa tercapai?
Saya pikir tidak ada perubahan yang begitu cepat ya. Maksudnya dalam konteks mobil listrik ini ya, tidak bisa perubahan itu begitu cepat. Karena sebagai contoh di seputaran (Kawasan) Jababeka saja, mobil bus aja itu 40.000, jadi maka perlu tahapan yang baik. Berikutnya ada sebuah konsistensi. Konsistensi dari mengawal dari sebuah kebijakan yang sudah disiapkan atau grand design yang sudah disiapkan Kemenhub. Berikutnya ada kesadaran bersama, (bahwa) kita menuju kepada perbaikan lingkungan. Kalau semuanya itu muncul, maka kita yakin bahwa Indonesia menuju kepada perbaikan lingkungan yang semakin cepat. Ya, kita yakin bisa.
Adakah anjuran untuk industri, masyarakat, untuk menggunakan mobil listrik? Dukungan industri artinya mulai ada ya?
Saya pikir itu tadi, itu bagian dari roadmap Kementerian Perhubungan, atau transisi penggunaan mobil konvensional menuju mobil listrik dari sisi transformasi umumnya ya. Itu saya pikir pasti diikuti oleh perusahaan-perusahaan. Dan yang selama ini terlihat jelas, bagaimana Mitsui melalui Paiton (PT Paiton Energy) membeli mobil bus MAB, berikutnya (juga) RAPP.
Dan yang saya juga heran, kemarin ketemu dari owner-nya RAPP, justru beliau terima kasih kepada MAB, karena satu, betul-betul mobil itu bisa kayak ikon gitu, dari lingkungan itu. Berikutnya yang kedua, masyarakat, karyawan mereka, semua pada senang itu, karena kan nggak berisik, bersih, berikutnya nyaman, yang akhirnya mobil itu menjadi tempat untuk selfie. Saya juga kaget juga itu, dari pimpinan mereka, dari owner-nya, dan mereka berjanji akan membeli lagi, untuk memenuhi kebutuhan secara bertahap itu.
Berikutnya, apakah ada cara-cara lain yang ditempuh oleh pemerintah? Untuk penggunaan pembangkit listrik tenaga uap (PLTU), penggunaan batubara itu memang ada shifting ya. Ada sebuah kebijakan, di mana ke depan ini untuk PLTU secara bertahap ada substitusi di luar batubara, menggunakan sumber-sumber lain. Yang bisa, ada tenaga surya, ada chip pengganti batu bara. Tapi secara bertahap itu ya. Kalau yang energi baru terbarukan (EBT) memang sangat kuat. Presiden sudah menentukan, di antaranya menjadikan Kaltara zona hijau untuk industri. Itu sudah, kita sudah menuju ke sana juga.